31 Agustus 2025-Musi Rawas- Sum Sel Menyikapi konflik lahan tanah antar ahli waris di Kelurahan Terawas beberapa hari belakangan nampaknya telah menarik perhatian publik. Inti dari permasalahan adalah saling klaim antar dua ahli waris yaitu keponakan dan paman terkait lahan tanah seluas lebih kurang 11x 20 Meter yang terletak di RT 02 Kelurahan Terawas Kecamatan STL.Ulu Kabupaten Musi Rawas.
Keponakan mengaku berhak atas tanah berdasarkan surat wasiat dari sang ayahnya yang telah lama meninggal. Sementara sang paman mengaku lebih berhak karena tanah tersebut milik orang tuanya. Menurut keterangan surat wasiat yang dimiliki keponakannya dibuat sepihak tanpa melibatkan ahli waris lain, termasuk sang paman.
Kasus ini sudah berlangsung puluhan tahun hingga saat ini tak kunjung selesai. Sang paman sudah mencari upaya penyelesaian diantaranya jalan musyawarah keluarga, namun keponakan bersih keras, tetap menolak. Hal ini membingungkan sang paman. Kata dia satu-satunya cara yang paling aman diselesaikan di pengadilan.
Namun tak mungkin dilakukan pasalnya bila persoalan diserahkan ke aparat penegak hukum sudah pasti akan menambah beban. Bukannya meringankan malah akan muncul beban baru. Proses akan menjadi panjang dan berliku, selain waktu tentu akan memakan biaya yang tidak sedikit.
Karena itu ia mengadukan perkaranya ke pemerintah kelurahan hingga ke kecamatan guna dicarikan solusi.
Pemerintah Kecamatan melalui lurah Terawas menyarankan agar sebaiknya permasalahan diselesaikan melalui musyawarah atau menempuh jalur hukum (pengadilan) jika tidak ditemukan solusi. Saat dilakukan komunikasi kepada kedua pihak hanya seorang yang datang yakni sang paman, sementara sang keponakan tidak. Sepertinya dia tidak mengharapkan Permasalahan ini diselesaikan.
Melalui tulisan ini penulis menyampaikan beberapa pandangan guna menjelaskan tentang akar permasalahan yang sebenarnya yaitu tentang status hukum surat wasiat sepihak. Lalu apakah tindakan ahli waris yang menghalangi ahli waris lain dibenarkan secara hukum. Kemudian bagaimana sebaiknya langkah pemerintah dalam menangani konflik tanah warga atau harta warisan?
Tulisan ini sebagai bentuk keperihatinan penulis terhadap kedua ahli waris terkhusus keponakannya yang diduga menjadi akar permasalahan, karena menghalangi dan mempersulit ahli waris untuk memanfaatkan atau menyelesaikan masalah. Dan ia juga tak mau melakukan tindakan hukum terhadap masalah ini. Selain itu tulisan ini merupakan kritik terhadap apatur Pemerintah khususnya pemerintah kelurahan Terawas Kecamatan STL.Ulu Kabupaten Musirawas yang sejak puluhan tahun lalu dinilai abai dan lamban dalam menangani masalah ini.
Kedudukan surat wasiat ahli waris
Untuk diketahui harta menjadi benda panas dalam sebuah keluarga sepeninggal pewaris. Ketika dipegang maupun dilepaskan atau diwariskan dapat menimbulkan konflik. Sengketa wasiat orang tua kepada anak-anaknya hingga ke cucu-cucunya memang kerap terjadi. Jika tidak segera ditangani, maka akibatnya akan berdampak buruk bagi kedua pihak yang sedang bertikai. Tidak jarang berujung pada munculnya konflik yang lebih besar seperti perbuatan main hakim sendiri yang berujung melakukan perbuatan kriminal.
Sepanjang pengalaman dan pemahaman penulis, dalam penanganan konflik tanah atau harta warisan, selama ini Pemerintah seolah-olah lebih memilih cara aman yakni melalui cara-cara formal (produral). Kendati terlihat aman, cara seperti dinilai tidak selalu efektif atau bahkan belum tentu bisa menjawab persoalan. Terkadang prosesnya panjang dan sangat melelahkan bahkan menjengkelkan. Selain waktu, biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak yang berperkara tidaklah sedikit yang pada akhirnya masyarakatlah yang dirugikan.
Dari sejumlah litetur tentang status tanah atau harta warisan yang penulis pahami, menyimpulkan bahwa jika surat wasiat yang dibuat ahli waris yang tidak ada persetujuan ahli waris lainnya merupakan tindakan yang keliru (Absurd). Atau dengan kata lain bahwa surat wasiat yang dibuat oleh pemberi Wasiat bersama Penerima Wasiat itu tidak sah secara hukum apabila dilakukan di bawah tangan. (lihat keputusan majelis hakim dalam putusan perkara Kasasi No. 558 K/Ag/2017.)
Pasal 874 KUHPerdata, yang berbunyi :" Segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu belum ada ketetapan yang sah."
Ketetapan yang sah dimaksud adalah surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang tentunya dapat dicabut kembali.
Itu berati jika tidak ada ketetapan yang sah dalam bentuk surat wasiat, maka semua harta peninggalan pewaris adalah milik segenap ahli waris yang masih hidup. Akan tetapi jika surat wasiat itu sah, surat wasiat tersebut harus dijalankan oleh para ahli waris.
Dalam bukunya berjudul ahli waris, J. Satrio tentang Hukum Waris menjelaskan, bahwa di dalam Pasal 874 KUHPerdata tersimpul suatu asas pentingnya hukum waris, yaitu "bahwa ketetapan pewarisan berdasarkan undang-undang baru berlaku, jika pewaris, tidak atau telah mengambil suatu ketetapan yang menyimpang mengenai harta peninggalannya." Ini berarti ahli waris atau anaknya tidak dapat menjalankan kehendak pemberi wasiat."
Selain itu hukum waris menurut KUHPerdata pada asasnya bersifat hukum yang mengatur (mengisi), walaupun sebagian kecil dari ketentuan-ketentuannya mempunyai sifat yang memaksa. Ini menunjukkan bahwa surat wasiat pun ada pembatasannya. Dimana wasiat juga harus memperhatikan bagian mutlak (legitieme portie) dari para ahli waris. Para ahli waris yang mempunyai bagian mutlak (legitieme portie) disebut legitimaris. Artinya wasiat tidak boleh melanggar bagian mutlak para legitimaris.
Jadi, tindakan ahli waris yang telah meninggal tidak boleh bertentangan dengan hak mutlak (legitiemate portie). Jika wasiat melanggar hak mutlak ahli waris yang sah, yaitu bagian warisan minimal yang seharusnya mereka terima menurut hukum, maka wasiat tersebut bisa dibatalkan.
Ini berarti wasiat yang dibuat secara sepihak tanpa memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku bisa jadi tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, terutama jika tidak ada bukti keasliannya atau ada praktik yang melanggar hukum. Kekuatan hukum surat wasiat tersebut bergantung pada keabsahan dan isi wasiatnya, serta apakah wasiat tersebut menghalangi hak-hak ahli waris yang sah.
Akibat hukum surat wasiat sepihak ahli waris!
Dari uraian diatas, menyimpulkan bahwa mengenai tindakan ahli waris yang secara sepihak melakukan klaim atas tanah, apalagi sampai menghalangi ahli waris lain menguasai atau mengolah tanah warisan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (perdata) karena tidak melibatkan persetujuan semua pihak yang berhak.
Namun, jika tindakan tersebut disertai dengan pemalsuan surat atau penipuan untuk menguasai harta warisan secara ilegal, maka dapat juga termasuk tindak pidana seperti penipuan, penggelapan, atau pemalsuan surat.
Hemat penulis, ahli waris yang menghalangi pamannya atau ahli waris lain untuk mengambil atau mengelolah tanah orang tuanya adalah suatu tindakan melawan hukum, perdata ataupun pidana. Bahkan tindakan itu bertentangan dengan asas kepatutan dan keadaban. Menentang sang paman sama saja melawan orang tua. Apalagi note Bene dia bersatus sebagai aparatur negara atau PNS yang tentunya melayani, memahami aturan serta menjaga etika.
Kalau memang surat wasiat itu sah, kenapa tidak dilaporkan ke penegak hukum? Kalaupun surat wasiat itu cacat secara hukum, apa salahnya diselesaikan secara musyawarah keluarga untuk dicarikan solusi pembagian sesuai ketentuan atau hasil kesepakatan sehingga tidak merugikan ahli waris lain yang juga berhak atas tanah tersebut.
Pemerintah harus ambil Langkah Radikal!
Banyak konflik tanah di Indonesia bersifat struktural, sehingga penyelesaiannya membutuhkan perubahan mendasar pada sistem penguasaan tanah. Termasuk konflik tanah antar ahli waris di Kelurahan terawas RT 02 hingga saat ini belum ada penyelesaian.
Penulis menilai selama ini pemerintah lebih memilih cara aman yakni melalui cara-cara formal. Cara seperti dinilai tidak selalu efektif atau belum tentu bisa menjawab persoalan, terkadang prosesnya panjang dan sangat melelahkan bahkan terkadang menjengkelkan.
Penulis menyarankan Pemerintah kecamatan melalui lurah Terawas harus melakukan pendekatan radikal.
Langkah ini bertujuan mencari solusi, mengatasi akar masalah terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kelompok rentan atau masyarakat adat. Atau bahkan sering terjebak pada cara formal yang kaku, tidak terbuka terhadap ide-ide baru. Terlalu berpegang pada tradisi atau kebiasaan yang sudah ada, sering kali tanpa mempertimbangkan relevansinya terkait akar masalah.
Akibatnya pihak pemerintah selaku penengah tidak memahami substansi masalah, sehingga saat dihadapkan pada sebuah perkara mereka gugup dan tidak mampu menjawab disetiap persoalan yang diadukan. Akibatnya kecewa, lalu mencari alternatif atau jalannya sendiri yang sangat rentan dan berbahaya sebab akan mengarah pada konflik yang lebih besar yang berujung pada tindakan main hakim atau perbuatan kriminal yang justru merugikan.
Dalam konteks penyelesaian hukum waris, pendekatan radikal bertujuan menciptakan keadilan dengan Prinsip-prinsip utama, memastikan ahli waris mendapatkan hak-haknya, sesuai pembagian yang adil tanpa sedikitpun ada yang dirugikan.
Dan untuk diketahui tidak semua permasalahan harus diselesaikan ke pengadilan apalagi perkara terkait perdata. Dalam kasus pidana kita mengenal istilah Restorative justice atau keadilan restoratif yang merupakan pendekatan penyelesaian perkara pidana yaitu prosesnya melalui dialog dan mediasi yang melibatkan ahli waris, keluarga, dan tokoh masyarakat yang lebih tahu serta memahami tentang sejarah kepemilikan harta warisan. Atau dalam perkara perdata dikenal dengan istilah jalur non-litigasi, yaitu mediasi (arbitrase), yang artinya "untuk mencapai kesepakatan tanpa harus ke pengadilan."
Melalui proses mediasi inilah seseorang dapat memahami secara mendasar pada penguasaan tanah yang ada, terutama pada konflik antar wali waris yang sudah berlangsung lama dan bersifat laten. Disamping itu, cara melalui mediasi atau arbitrase ini, selain bertujuan menghindari proses pengadilan, juga dapat mengatasi akar masalah serta menata ulang kebijakan, yang diharapkan dapat mencegah terjadinya konflik tanah di masa mendatang sehingga masyarakat dapat hidup dengan tenang.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang penulis dikemukakan, konflik tanah warisan antara ahli waris dengan sang keponakan yang terjadi di RT 02 Kelurahan Terawas yang tak kunjung selesai itu, disebabkan oleh surat wasiat yang cacat secara hukum, karena tanpa persetujuan seluruh ahli waris. Akan tetapi pemegang surat wasiat, mungkin karena ketidakpahaman atau mungkin faktor watak dan karakter manusia yang memang bermasalah, sehingga sulit untuk dilakukan upaya mediasi.
Selain itu, lambannya penanganan pemerintah serta mahalnya biaya peradilan juga merupakan penyebab permasalahan ini tak kunjung selesai.
(Oleh :Pauzan Hakim, S.Ag)
Penulis : Lulusan S1 1999 Fakultas Ushuluddin UIN Raden Fatah Palembang
Posting Komentar