Tangisan Honorer Megang Sakti Menggema di DPRD Mura: Tolonglah Kami, Pak.


17/9/2025-  Musi Rawas. Sum Sel Tangis pilu seorang pegawai honorer dari Puskesmas Megang Sakti pecah saat mengikuti audiensi terkait nasib Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) paruh waktu, di ruang rapat paripurna DPRD Kabupaten Musi Rawas 


Dengan suara bergetar, ia menyampaikan isi hatinya di hadapan Ketua DPRD Kabupaten Musi Rawas Firdaus Cik Olah, Sekda Musi Rawas, Plt Inspektorat, perwakilan OPD, Dinas Kesehatan, PPKB, dan Dinas Pendidikan yang hadir. Kata demi kata meluncur lirih, namun menyayat siapa pun yang mendengarnya.


“Seleksi kemarin itu formalitas saja, Pak. Mereka yang baru dua tahun sudah lulus semua. Kami ini sudah sepuluh tahun lebih mengabdi, tapi tetap tidak lulus, Pak. Mau jadi apa kami ini, Pak… Tolonglah, Bu… Tolonglah, Pak. Tolong usulkan kami ini menjadi P3K. Data kami ada, kami ini ada di sini, bukan tidak ada. Tolong Pak… makasih Pak,” ucapnya sambil terisak, membuat suasana ruang paripurna hening.


Air mata yang jatuh bukan sekadar keluhan biasa, tetapi jeritan nurani yang sudah lama tertahan. Di balik pengabdian panjang tanpa kepastian, ada perasaan dikhianati oleh sistem yang dianggap tidak adil.


Bagi mereka, menjadi honorer bukan hanya tentang pekerjaan, tetapi pengabdian. Bertahun-tahun mengisi ruang kosong pelayanan kesehatan di pelosok, tetap berdiri tegak meski gaji jauh dari layak. Namun, ketika kesempatan beralih status terbuka, harapan itu kembali pupus.


“Kami ini bukan tidak layak, Pak. Kami hanya ingin keadilan. Jangan biarkan pengabdian kami selama puluhan tahun hilang begitu saja,” tambahnya, dengan nada penuh keputusasaan.


Beberapa hadirin terlihat menunduk, seakan tak kuasa menahan haru. Ada yang diam membisu, ada pula yang menghela napas panjang. Tangisan itu menggema lebih kuat dari pidato mana pun, mengetuk hati yang selama ini mungkin tertutup oleh tumpukan regulasi.


Audiensi itu seolah membuka luka lama: nasib ribuan honorer di Kabupaten Musi Rawas yang masih menggantung, antara pengabdian dan ketidakpastian. Sementara regulasi terus berubah, mereka tetap setia bekerja, meski harapan makin tipis.


Kini, yang tersisa hanyalah doa dan harapan. Bahwa tangisan itu bukan sekadar isak tanpa arti, melainkan awal dari sebuah keberanian untuk memperjuangkan keadilan. 


“Kami tidak ingin dimanja, Pak. Kami hanya ingin dihargai. Kami ada, dan kami ingin diperjuangkan,” pungkasnya.


Tangisan di ruang paripurna DPRD itu akan terus menjadi pengingat, bahwa di balik angka dan regulasi, ada manusia yang sedang menjerit menuntut keadilan.


(Red/An)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama